Biomassabiru.com, Jakarta – Regulasi yang tepat sangat dibutuhkan dalam pengembangan Genome Editing (GE) sebagai salah satu terobosan bioteknologi. GE atau penyuntingan genom, adalah bentuk rekayasa genetika yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia.
Pemanfaatan teknologi rekayasa genetik masih diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2005, tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik, yang mengelompokkan hasil genome editing sebagai Genetically Modified Organisms (GMO). Sehingga, dalam proses pelepasannya akan mengikuti aturan pelepasan tanaman hasil rekayasa genetika.
“Hingga saat ini, Indonesia belum mempunyai perangkat peraturan yang memadai terkait GE. Status terkini regulasi GE adalah under consideration. Padahal, percepatan regulasi produk genom sangat diperlukan untuk keamanan pangan. Sehingga dapat dimanfaatkan dan diaplikasikan ke masyarakat secara maksimal,” ujar Peneliti Pusat Riset Rekayasa Genetika (PRRG) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wien Kusharyoto, dalam Webinar Friday Scientific Sharing, dikutip Jumat (11/8/2023).
Dalam paparannya yang berjudul “Pendekatan Regulasi Pangan Produk Pengeditan Genome”, Wien menguraikan, pendekatan regulasi keamanan pangan untuk kategori tanaman GE tidak berubah.
Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat masih mempertahankan proses konsultasi keamanan pangan secara sukarela, yang dikombinasikan dengan undang-undang terkait tanggung jawab keamanan pangan yang ketat.
Lalu mengapa regulasi GE sangat diperlukan? Wien menjelaskan, meskipun GE dikatakan sangat akurat, namun risiko perubahan tambahan dapat terjadi pada situs target, maupun lokasi lainnya dalam genom yang lazim disebut perubahan off-target.
“Perubahan tambahan dapat terjadi karena reparasi yang tidak sempurna dari DNA yang terpotong. Perubahan juga dapat terjadi karena protein Cas memotong DNA di lokasi lainnya dalam genom, karena adanya kemiripan sekuen DNA,” ungkapnya.
Wien mengungkapkan perubahan genetika secara spontan atau alami juga dapat terjadi pada pemuliaan tanaman secara konvensional.
“Pada tanaman hasil pemuliaan secara konvensional juga dapat ditemukan perubahan genetik di luar situs target (off-target) yang disebabkan oleh perubahan genetik secara spontan atau karena proses regenerasi secara in vitro. Selain itu, kemungkinan terjadinya perubahan off-target jauh lebih tinggi pada proses mutagenesis secara acak konvensional dibandingkan proses GE,” terangnya.
Dia juga menguraikan terdapat beberapa masalah terkait deteksi produk GE.
“Adanya penanda genetik yang unik, deteksi produk rekayasa genetika ‘relatif’ lebih mudah. Namun di sisi lain, deteksi adanya perubahan genetik, misalnya mutasi pada produk GE lebih sulit dilakukan,” jelas Wien.
Menurut Wien, kesulitan dalam deteksi nantinya akan berdampak pada kesulitan dalam penentuan apakah sebuah produk merupakan produk GE. Kondisi ini dapat terjadi apabila produk GE telah beredar, sehingga kesulitan dalam pelacakan akan lebih rumit. Ditambah lagi adanya kesulitan dalam mengindikasi pelanggaran hak kekayaan intelektual (paten) pada produk yang beredar.
Dirinya menyakini, untuk mengantisipasi risiko dan masalah tersebut, diperlukan adanya harmonisasi pedoman terkait GE. Harmonisasi ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan kesesuaian dari teknologi yang digunakan untuk pembuktian.
“Perlu dipastikan bahwa tidak ada insersi plasmid backbone pada produk akhir. Salah satu aspek penting, misalnya adalah eliminasi enzim Cas serta gRNA dari produk GE. Hal ini perlu kejelasan dan kesesuaian dari teknologi yang digunakan untuk pembuktian,” ujar Wien diakhir paparannya.
Mewakili Kepala PRRG BRIN, Koordinator Tim Perencanaan Monitoring Evaluasi (PME) PRRG mengharapkan webinar ini dapat menjadi media diskusi untuk menambah ilmu dan pengetahuan terkait GE.
Sebagai informasi, webinar ini juga menghadirikan narasumber lainnya, yaitu Baoxiu Qi dari Liverpool John Moores University, London.(*)